ASPEK AKSIOLOGI ILMU MANAJEMEN - Filsafat Ilmu Manajemen
A. PENDAHULUAN
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami persoalan – persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia, termasuk masalah kehidupan dalam bidang ilmu manajemen. Jawaban hasil pemikiran filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat dalam mencari jawaban dilakukan dengan cara ilmiah, objektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia, demikian halnya untuk menjawab persoalan-persoalan manusia dalam bidang ilmu manajemen (Jalaludin dan Idi, 2007: 125).
Menurut Atmaja, Nengah Bawa dan Atmaja, Anantawikrama (2014: 139), kita dapat melihat Gambar 1.1 yang akan menjelaskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang melandasi kebenaran ilmu dan pengembangannya secara umum.
Gambar 1.1 Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang Melandasi Kebenaran Ilmu dan Pengembangannya.
Sumber:Diadaptasi dari Mustansyir dan Munir (2006) serta Suriasumatri (2001) dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014)
Pada Gambar 1.1, menjelaskan bahwa eratnya hubungan antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam melandasi kebenaran dan pengembangan ilmu, dapat dicermati dari Suriasumantri dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014: 139), bahwa setiap jenis ilmu pengetahuan memiliki tiga ciri tersebut dan ketiganya saling berkaitan, sehingga dengan cara ini dimungkinkan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang hakikat ilmu pengetahuan secara, tidak saja filosofis dan akademik, tetapi juga praktisnya. Dan fokus pembahasan kita akan masuk pada dimensi Aksiologi dalam Ilmu Manajemen.
B. DEFINISI AKSIOLOGI MANAJEMEN
Menurut Noor (2013:83), secara etimologi aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Jujun, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Menurut Muhammad Noor Syam (1986) dalam Jalaludin (2007: 84) bahwa aksiologi adalah bidang yang menyelidiki nilai – nilai (value). Nilai dan implikasi aksiologi di dalam ilmu manajemen ialah pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai ekspresi keindahan dan nilai kehidupan sosio – politik) di dalam kehidupan manusia. Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi adalah apakah yang baik?
Menurut Kattsoff (1987) dalam Torang (2014:105) bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat nilai. Aksiologi juga sebagai penuntun dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu.
Adapun Bramel dalam Noor (2013:83), membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Permasalahan aksiologi dalam ilmu manajemen (Noor , 2013:83), adalah:
1. Sifat nilai atau paras nilai didukung oleh pengertian tentang pemenuhan hasrat, kesenangan, kepuasan, minat, kemauan rasional yang murni, serta persepsi mental yang erat sebagai pertalian antara sesuatu sebagai sarana untuk menuju ke titik akhir atau menuju kepada tercapainya hasil yang sebenarnya. Di dalam mengkaji manajemen berkecimpung tentunya dilandasi dengan hasrat untuk mendapatkan kepuasan.
2. Perihal tipe nilai didapat informasi bahwa ada nilai intrinsik dan ada nilai instrumental. Nilai intrinsik ialah nilai konsumatoris atau yang melekat pada diri sesuatu sebagai bobot martabat diri (prized for their own sake). Yang tergolong ke dalam nilai intrinsik adalah kebaikan dari segi moral, kecantikan, keindahan, dan kemurnian. Sedangkan nilai instrumental adalah nilai adalah nilai penunjang yang menyebabkan sesuatu memiliki nilai intrinsik.
3. Penerapan tipe nilai bagi manajemen diarahkan sebagai profesi. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengklasifikasikan manajemen sebagai profesi. Kriteria untuk menentukan sesuatu sebagai profesi adalah sebagai berikut:
a. Para profesional membuat keputusan atas dasar prinsip-prinsip umum.
b. Para profesional mendapatkan status mereka karena mencapai standar prestasi kerja tertentu, bukan karena favoritism atau karena suku bangsa atau agama.
c. Para profesional harus ditentukan oleh suatu kode etik yang kuat, dengan disiplin untuk mereka yang menjadi kliennya.
Dapat disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahaannya mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika. Oleh karena itu, nilai ilmu manajemen tidak hanya bersifat intrinsik sebagai seni, melainkan juga nilai ekstrinsik sebagai ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam manajemen.
C. AKSIOLOGI DALAM MORAL CONDUCT MANAJEMEN
Moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Selanjutnya, Suriasumantri mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskannya kedalam 4 tahapan yaitu:
1. Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
2. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
3. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
4. Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau tidak mengindahkan nilai – nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah – kaidah yang membimbing tingkah laku manusia sehingga baik. Karena secara umum moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakunya, dapat timbul pula perbedaan penafsiran.
D. AKSIOLOGI DALAM ESTHETIC EXPRESSION MANAJEMEN
Pengertian Estetika
Estetika berasal dari dari kata Yunani Aesthesis yang berarti pengamatan. Semiawan (2005:159), menjelaskan estetika sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengalaman ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengalaman ilmiah (Susanto 2011:119).
Estetika dapat dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala – gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, ditanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri).
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafat dan estetis ilmiah. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafat dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafat ada yang menyebut sebagai estetis analitis, karena tugasnya hanyalah mengurai. Sedangkan estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat (The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:101).
Pengertian Keindahan
Keindahan menurut etimologi berasal dari kata Latin Bellum yang berarti kebaikan. Menurut cakupannya,keindahan dapat dibedakan sebagai suatu kualitas abstrak (beauty) dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah (the beautiful).
Kalau estetika dirumuskan cabang filsafat yang berhubungan dengan teori keindahan, maka definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali apa keindahaan itu, sedangkan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu. Persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat dasar keindahan dari apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda yang indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut?
Apa sesungguhnya keindahan itu? Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast)( The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:103).
Pengertian lain dari keindahan seperti yang digambarkan oleh Herbert Read, Thomas Aquinas, dan Kaum Sofis di Athena. Herbert Read memberikan pengertian keindahan, yakni kesatuan beberapa hubungan bentuk yang diterima oleh indrawi. Thomas Aquinas menyatakan keindahan sama dengan suatu yang menyenangkan. Adapun Kaum Sofis di Athena memberikan gambaran keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Dalam estetis modern, orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis karena ini gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis.
Beberapa teori mengenai keindahan adalah sebagai berikut:
1. Teori Subjektif dan Objektif
a. Teori Objektif, berpendapat bahwa ciri – ciri yang menciptakan nilai estetis adalah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat – sifat indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Persoalannya adalah ciri – ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawabannya adalah perimbangan antar bagian – bagian dalam benda yang dianggap indah tersebut.
b. Teori Subjektif, menyatakan bahwa ciri – ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata – mata tergantung pada pencerahan dari si pengamat tersebut. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini dapat diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagi tanggapan terhadap benda itu.
c. Teori campuran, menyatakan keindahan terletak dalam suatu hubungan diantara suatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya, misalnya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, suatu benda memiliki ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerahan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda itu (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:104).
2. Teori Perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut teori agung tentang keindahan (the great theory of beauty). Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari bagian – bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian – bagian serta hubungannya satu sama lain. Contohnya, arsitektur Yunani, dimana keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran , jumlah dan susunan dari pilar – pilar yang menyangga atap tersebut. Pilar – pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam berbagai dimensinya (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:105 ).
3. Teori Bentuk Estetis
Menurut Mondroe Beardesley, menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat ‘membuat baik (indah)’ dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu yaitu:
a. Kesatuan (unity)
Berarti benda estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni memiliki isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan – perbedaan yang halus.
c. Kesungguhan (intensity)
Benda estetis yang baik harus memiliki kualitas tertentu yang menonjol bukan sekedar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi masalah apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira , sifat lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensif atau sungguh – sungguh (The Liang gie, Surajiyo 2014:106).
Penerapan Konsep Estetika Dalam Manajemen
Dalam filsafat manajemen, terkandung dasar pandangan hidup yang mencerminkan keberadaan, identitas dan implikasinya guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaan manajemen. Untuk merealisasikan tujuan diperlukan beberapa faktor penunjang sehingga merupakan kombinasi yang terpadu, baik menyangkut individu maupun kepentingan umum. Hal ini dimaksudkan adanya keseimbangan diantara faktor – faktor yang diperlukan dalam mencapai suatu kekuatan untuk mengejar suatu hasil yang maksimum.
Mary Parker Follet mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu bentuk seni untuk melakukan suatu pekerjaan lewat orang lain. Definisi dari Mary Parker Follet ini mengandung perhatian pada sebuah kenyataan bahwa para manajer dapat mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain agar dapat melaksanakan apa saja yang diperlukan dalam suatu pekerjaan, tidak dengan cara melaksanakan pekerjaan tersebut seorang diri. Jadi estetika atau seni diterapkan dalam proses penerapan fungsi – fungsi manajemen dalam perusahaan (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling). Terutama di Bali sebagai daerah pariwisata yang terkenal, tentunya aspek estetika menjadi sangat penting. Contohnya pengerjaan sebuah proyek perusahaan.
Penerapan fungsi – fungsi manajemen tersebut antara lain:
a. Diawali dengan tahap Planning (perencanaan), ketika para arsitek merencanakan membuat bangunan perkantoran bertingkat pasti dikaitkan dengan aspek – aspek peruntukannya apa, bagaimana situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak lingkungan. Yang pasti estetika suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada strategi bisnis perusahaan dan pertimbangan lingkungan.
b. Tahap Organizing (mengorganisasi), pada tahap ini ada komunikasi antara pemimpin dan manajer dengan para sub-ordinasinya. Ketika terjadi interaksi maka selayaknya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya dengan cara –cara yang manusiawi. Misalnya pemimpin menyapa karyawan dengan akrab, sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis dan indah. Pemimpin juga mau mendengar dan merespon positif pendapat sub-ordinasinya.
c. Tahap Actuating (pelaksanaan), ketika perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetitif maka salah satu unsur yang ingin dicapai adalah pengembangan loyalitas konsumen. Untuk itu perusahaan harus bisa memberikan produk yang bermutu dan layanan yang terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan nilai lalu dibangun suatu jembatan emosional antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya adalah tanggung jawab mutu dengan dengan estetika tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu dan konsumen diperlakukan dengan cara aman dan nyaman secara berkelanjutan. Pada gilirannya konsumen akan loyal untuk kembali membeli produk perusahaan tersebut.
d. Tahap Controlling (pengawasan), dimana pengawasan merupakan tindakan seorang manajer untuk menilai dan mengendalikan jalannya suatu kegiatan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pengawasan adalah memperbaiki kesalahan, penyimpangan, penyelewengan dan kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan rencana. Misalnya apabila ada bawahan yang melakukan kesalahan, pimpinan menegur dengan cara yang baik, tidak emosional dan manusiawi. Sehingga bawahan tidak merasa ketakutan atau tertekan dan selanjutnya dapat memperbaiki kesalahannya.
E. AKSIOLOGI DALAM SOCIO POLITICAL LIFE
Sosial, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu ilmu yang berkenaan dengan masyarakat atau mengenai masyarakat. Sedangkan politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan. Dalam politik selalu menyangkut tujuan – tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan seorang pribadi. Karena itu aspek aksiologis dalam kehidupan sosial politik adalah kaidah – kaidah nilai yang harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu sosial dan politik ke dalam praktis. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi selangkah, pertukaran informasi antar manusia selalu merupakan permainan tentang toleransi (Susanto, 2016: 118). Ini berlaku dalam ilmu eksakta maupun bahasa, ilmu sosial, religi, ataupun politik, bahkan juga setiap bentuk pikiran yang akan menjadi dogma.
Jujun Suriasumantri dalam Syamsir Torang (2014) menyebutkan bahwa ilmu harus digunakan, dimanfaatkan dan diterapkan untuk kemaslahatan manusia. Ilmu juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan mempertimbangkan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun, diharapkan dapat digunakan atau diterapkan secara komunal dan universal. Komunal berarti milik bersama dan universal berarti tidak mempunyai konotasi panokial seperti ras, ideologi, atau agama.
Prinsip Politik sebagai Prinsip Penerapan Ilmu
Otoritas dan obyektifitas ilmiah tak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan asas, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti akan roboh, dan sesuatu yang tanpa penjaga pasti akan musnah. Dengan demikian, otoritas politik merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu. (Syamsir Torang, 2014: 109). Contoh aksiologis dalam Socio Political Life antara lain:
1. Sikap dan Tanggung Jawab Ilmuwan (Latiff Mukhtar, 2014)
Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang apabila memenuhi syarat – syarat keilmuan akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan hanya karena ia warga masyarakat, melainkan karena bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar disalahgunakan masyarakat.Selain itu pula masyarakat seringkali mendapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang dengan analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan atas permasalahan tesebut. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat, memberikan perspektif yang benar, untung – rugi, baik dan buruknya sehingga penyelesaian yang obyektif dapat dimungkinkan. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat menyebabkan mereka memiliki tanggung jawab sosial.
Tugas seorang ilmuwan harus dapat menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Mereka tidak akan membiarkan hasil penelitian maupun temuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun digunakan olah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan telah bangkit dan bersikap terhadap politik dan pemerintah yang berkuasa yang menurut mereka telah melanggar asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan yang dapat disalahgunakan sehingga ilmuwan berperan penting dalam menjaga kegunaannya dalam lingkungan sosial dan politik.Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, entah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi dan sebagainya mesti memperhatikan nilai – nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Peran akademisi dalam menanggapi isu lingkungan maupun sosial budaya di masyarakat
Senat Universitas Udayana memutuskan bahwa rencana Reklamasi Teluk Benoa tidak layak untuk diteruskan. Hal tersebut setelah dilakukan pengkajian kembali oleh tim review unud setelah melihat hasil kajian para peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM Unud). Menurut Prof. Suastika selaku Rektor Unud, proyek diputuskan tidak layak setelah dikaji dari aspek lingkungan, teknis, sosial budaya, dan ekonomi finansial. (www.antarabali.com). Begitu juga tindakan Institut Teknologi Sepuluh November yang menolak penawaran penyelenggara proyek untuk melakukan kajian atas proyek tersebut.
2. Seorang Teknokrat
Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang memiliki kemampuan teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus terlibatdalam kegiatan berkuasa dan memerintah. Beberapa tokoh yang dipandang sebagai teknokrat Indonesia antara lain: Boediono, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Anies Baswedan (www.jpnn.com).Terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat yakni:
i) Selaku teoritisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan adalah membentuk hukum umum dari peristiwa empiris atau objek yang mengembangkan pengetahuan dimana dapat menjelaskan apa hakikat peristiwa yang diamatinya dan membuat prediksi untuk masa depan.
ii) Selaku praktisi, teknokrat memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin kegiatan berpikir dan bertindak menganalisis fakta dengan tujuan menawarkan solusi sejauh yang diperlukan.
3. Pancasila sebagai dasar berpolitik
Terdapat berbagai macam pandangan politik dalam kehidupan bermasyarakat. Politik fiskal, politik internasional, politik nasional, politik lokal dan lain-lain. Seluruhnya merupakan pengetahuan tentang ketatanegaraan maupun urusan pemerintahan yang berkaitan dengan banyak orang pada tiap bidang tersebut. Karenanya penting untuk memahami nilai yang dijadikan pedoman dalam berperilaku politik.
Politik berperan strategis menghasilkan produk – produk hukum yang menyangkut masyarakat banyak. Erika dan Dewa (2014) menyatakan bahwa pembangunan karakter produk hukum yang sarat akan nilai – nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila merupakan salah satu karakteristik yang dapat ditonjolkan sebagai identitas pribadi yang mandiri, dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta, menghargai nilai – nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dengan asas musyawarah mufakat, serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi prosedur hukum harus mencakup pembangunan hukum dalam wujud pembaharuan peraturan perundang - undangan, pembinaan aparatur Negara, dan masyarakat serta hukum secara struktural, budaya, dan substansi maupun jaminan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM bagi setiap warga Negara yang dituangkan dalam bentuk konstitusi.
F. AKSIOLOGI MANAJEMEN TENTANG PERTIMBANGAN NILAI DAN MENJADI AKSI TERHADAP FUNGSI MANAJEMEN
Menurut Susanto (2011) dalam buku Filsafat Ilmu, Latif M (2014:231) mengatakan ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu di mana dalam proses penilaian terhadap unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai ilmiah, dan teori nilai emotif. Dimana teori nilai intuitif dan tori nilai rasional beraliran pendekatan objectivitas, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran pendekatan subjektivitas(Latif M, 2014: 231).
a. Teori Nilai Intuitif (The Intuitif Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai yang eksis sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi perilaku manusia. Setelah seseorang menemukan dan mengakui nilai intuitif melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
b. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia, dimana nilai ini ditemukan dari hasil penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai objektif absolut yang seharusnya mengarahkan perilaku.
c. Teori Nilai Alamiah (The Naturakistic Theory of Value)
Menurut teori ini, nilai diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya . Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji, oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental di mana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersidat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
d. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.
Dalam Encyclopediaof Phylosophy dijelaskan, aksiologi disamakan denganValue and Valuation. Ada tiga bentuk value and valuation (Amsal B, 2004:164).
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, mencakup seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan nilai sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, ataupun sebagai nilai contributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata nilai – nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai sebagai mana berlawanan dengan sesuatu yang tidak dianggap baik.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan hal tentang menilai, ia berarti menghargai dan mengevaluasi.
Menurut Budidarjo (2011) dalam Syamsir Torang (2014:112) nilai – nilai organisasi sebaiknya disosialisasikan dan dibudayakan agar mudah diterima oleh para anggotanya. Organisasi yang berkualitas, harus memiliki tujuh nilai yaitu integrity,professionalism,customer orientation, innovation, learning, team work, dan service excellent. Budidarjo dalam Syamsir Torang (2014:111-114) menyebutkan terdapat delapan fokus nilai budaya organisasi antara lain:
1. Pelanggan
Organisasi berorientasi pada nilai – nilai cutomer satisfaction, customer oriented, customer focus, cutomer value, dan empaty for clients.
2. Pelayanan dan Kualitas
Pelayanan yang diberikan organisasi berorientasi pada nilai – nilai: service orientedservice awareness, service excellent dan quality.
3. Orientasi Kelompok
Kelompok dalam organisasi tidak bisa diabaikan, oleh sebab itu organisasi harus berorientasi pada nilai – nilai kelompok: team work, people oriented, respect for other, cooperation dan collaboration.
4. Orientasi manusia
Organisasi juga harus memperhatikan sumber daya manusia yang dimiliki dengan berorientasi pada nilai – nilai: commitment for human development, caring, employee development, humanism, empowerment dan people development.
5. Inovatif
Nilai – nilai inovatif yang harus dimiliki oleh organisasi yaitu: continuous improvement, creativity, continuous pursuit of excellent, knowledge based, technobasic integrity, champion spirit dan competitive.
6. Strategik
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh strategi yang digunakan dalam mencapai tujuannya. Nilai – nilai strategic yang harus dimiliki organisasi yaitu: strategic alliance, good leadership, continuous learning, networking, professionalism,performance oriented, professional excellent, winning together, visionary dan world class.
7. Prestasi
Prestasi merupakan harapan organisasi, oleh sebab itu nilai prestasi yang harus dimiliki organisasi yaitu: achieving, adaptenes, agility, caring, competent people, confident, dedication, discipline, hardworking, reliable, initiative, openness, perseverance, responsible, strive for excellent dan synergy.
8. Moral atau Etika
Nilai – nilai moral atau etika merupakan nilai yang sangat signifikan yang harus dimiliki organisasi, antara lain: etical, good attitude, fairness, honesty, humanism, peace of main, social responsibility, trust dan equality.
Dalam fungsi – fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating dan controlling, seluruh bentuk nilai sangat bermanfaat untuk setiap keputusan yang akan dibuat dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu organisasi dalam pencapaian tujuannya. Dalam kaitannya dengan manajemen, bagamaimana seorang manajer merencanakan suatu kegiatan kemudian pengorganisasian rencana – rencana tersebut, mengimplementasikan rencana dan yang terakhir melakukan pengawasan sehingga serangkaian fungsi manajemen tersebut dapat memberi nilai pada perusahaan.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami persoalan – persoalan yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian filsafat dibutuhkan manusia dalam upaya menjawab pertanyaan yang timbul dalam berbagai lapangan kehidupan manusia, termasuk masalah kehidupan dalam bidang ilmu manajemen. Jawaban hasil pemikiran filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat dalam mencari jawaban dilakukan dengan cara ilmiah, objektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada akal budi manusia, demikian halnya untuk menjawab persoalan-persoalan manusia dalam bidang ilmu manajemen (Jalaludin dan Idi, 2007: 125).
Menurut Atmaja, Nengah Bawa dan Atmaja, Anantawikrama (2014: 139), kita dapat melihat Gambar 1.1 yang akan menjelaskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang melandasi kebenaran ilmu dan pengembangannya secara umum.
Gambar 1.1 Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang Melandasi Kebenaran Ilmu dan Pengembangannya.
Sumber:Diadaptasi dari Mustansyir dan Munir (2006) serta Suriasumatri (2001) dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014)
Pada Gambar 1.1, menjelaskan bahwa eratnya hubungan antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam melandasi kebenaran dan pengembangan ilmu, dapat dicermati dari Suriasumantri dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014: 139), bahwa setiap jenis ilmu pengetahuan memiliki tiga ciri tersebut dan ketiganya saling berkaitan, sehingga dengan cara ini dimungkinkan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang hakikat ilmu pengetahuan secara, tidak saja filosofis dan akademik, tetapi juga praktisnya. Dan fokus pembahasan kita akan masuk pada dimensi Aksiologi dalam Ilmu Manajemen.
B. DEFINISI AKSIOLOGI MANAJEMEN
Menurut Noor (2013:83), secara etimologi aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Jujun, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Menurut Muhammad Noor Syam (1986) dalam Jalaludin (2007: 84) bahwa aksiologi adalah bidang yang menyelidiki nilai – nilai (value). Nilai dan implikasi aksiologi di dalam ilmu manajemen ialah pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai ekspresi keindahan dan nilai kehidupan sosio – politik) di dalam kehidupan manusia. Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi adalah apakah yang baik?
Menurut Kattsoff (1987) dalam Torang (2014:105) bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat nilai. Aksiologi juga sebagai penuntun dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu.
Adapun Bramel dalam Noor (2013:83), membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Permasalahan aksiologi dalam ilmu manajemen (Noor , 2013:83), adalah:
1. Sifat nilai atau paras nilai didukung oleh pengertian tentang pemenuhan hasrat, kesenangan, kepuasan, minat, kemauan rasional yang murni, serta persepsi mental yang erat sebagai pertalian antara sesuatu sebagai sarana untuk menuju ke titik akhir atau menuju kepada tercapainya hasil yang sebenarnya. Di dalam mengkaji manajemen berkecimpung tentunya dilandasi dengan hasrat untuk mendapatkan kepuasan.
2. Perihal tipe nilai didapat informasi bahwa ada nilai intrinsik dan ada nilai instrumental. Nilai intrinsik ialah nilai konsumatoris atau yang melekat pada diri sesuatu sebagai bobot martabat diri (prized for their own sake). Yang tergolong ke dalam nilai intrinsik adalah kebaikan dari segi moral, kecantikan, keindahan, dan kemurnian. Sedangkan nilai instrumental adalah nilai adalah nilai penunjang yang menyebabkan sesuatu memiliki nilai intrinsik.
3. Penerapan tipe nilai bagi manajemen diarahkan sebagai profesi. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengklasifikasikan manajemen sebagai profesi. Kriteria untuk menentukan sesuatu sebagai profesi adalah sebagai berikut:
a. Para profesional membuat keputusan atas dasar prinsip-prinsip umum.
b. Para profesional mendapatkan status mereka karena mencapai standar prestasi kerja tertentu, bukan karena favoritism atau karena suku bangsa atau agama.
c. Para profesional harus ditentukan oleh suatu kode etik yang kuat, dengan disiplin untuk mereka yang menjadi kliennya.
Dapat disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahaannya mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika. Oleh karena itu, nilai ilmu manajemen tidak hanya bersifat intrinsik sebagai seni, melainkan juga nilai ekstrinsik sebagai ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam manajemen.
C. AKSIOLOGI DALAM MORAL CONDUCT MANAJEMEN
Moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Selanjutnya, Suriasumantri mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskannya kedalam 4 tahapan yaitu:
1. Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
2. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
3. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
4. Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau tidak mengindahkan nilai – nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah – kaidah yang membimbing tingkah laku manusia sehingga baik. Karena secara umum moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakunya, dapat timbul pula perbedaan penafsiran.
D. AKSIOLOGI DALAM ESTHETIC EXPRESSION MANAJEMEN
Pengertian Estetika
Estetika berasal dari dari kata Yunani Aesthesis yang berarti pengamatan. Semiawan (2005:159), menjelaskan estetika sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengalaman ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengalaman ilmiah (Susanto 2011:119).
Estetika dapat dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala – gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, ditanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri).
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafat dan estetis ilmiah. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafat dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafat ada yang menyebut sebagai estetis analitis, karena tugasnya hanyalah mengurai. Sedangkan estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat (The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:101).
Pengertian Keindahan
Keindahan menurut etimologi berasal dari kata Latin Bellum yang berarti kebaikan. Menurut cakupannya,keindahan dapat dibedakan sebagai suatu kualitas abstrak (beauty) dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah (the beautiful).
Kalau estetika dirumuskan cabang filsafat yang berhubungan dengan teori keindahan, maka definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali apa keindahaan itu, sedangkan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu. Persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat dasar keindahan dari apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda yang indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut?
Apa sesungguhnya keindahan itu? Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast)( The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:103).
Pengertian lain dari keindahan seperti yang digambarkan oleh Herbert Read, Thomas Aquinas, dan Kaum Sofis di Athena. Herbert Read memberikan pengertian keindahan, yakni kesatuan beberapa hubungan bentuk yang diterima oleh indrawi. Thomas Aquinas menyatakan keindahan sama dengan suatu yang menyenangkan. Adapun Kaum Sofis di Athena memberikan gambaran keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Dalam estetis modern, orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis karena ini gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis.
Beberapa teori mengenai keindahan adalah sebagai berikut:
1. Teori Subjektif dan Objektif
a. Teori Objektif, berpendapat bahwa ciri – ciri yang menciptakan nilai estetis adalah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat – sifat indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Persoalannya adalah ciri – ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawabannya adalah perimbangan antar bagian – bagian dalam benda yang dianggap indah tersebut.
b. Teori Subjektif, menyatakan bahwa ciri – ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata – mata tergantung pada pencerahan dari si pengamat tersebut. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini dapat diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagi tanggapan terhadap benda itu.
c. Teori campuran, menyatakan keindahan terletak dalam suatu hubungan diantara suatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya, misalnya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, suatu benda memiliki ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerahan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda itu (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:104).
2. Teori Perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut teori agung tentang keindahan (the great theory of beauty). Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari bagian – bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian – bagian serta hubungannya satu sama lain. Contohnya, arsitektur Yunani, dimana keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran , jumlah dan susunan dari pilar – pilar yang menyangga atap tersebut. Pilar – pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam berbagai dimensinya (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:105 ).
3. Teori Bentuk Estetis
Menurut Mondroe Beardesley, menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat ‘membuat baik (indah)’ dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu yaitu:
a. Kesatuan (unity)
Berarti benda estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni memiliki isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan – perbedaan yang halus.
c. Kesungguhan (intensity)
Benda estetis yang baik harus memiliki kualitas tertentu yang menonjol bukan sekedar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi masalah apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira , sifat lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensif atau sungguh – sungguh (The Liang gie, Surajiyo 2014:106).
Penerapan Konsep Estetika Dalam Manajemen
Dalam filsafat manajemen, terkandung dasar pandangan hidup yang mencerminkan keberadaan, identitas dan implikasinya guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaan manajemen. Untuk merealisasikan tujuan diperlukan beberapa faktor penunjang sehingga merupakan kombinasi yang terpadu, baik menyangkut individu maupun kepentingan umum. Hal ini dimaksudkan adanya keseimbangan diantara faktor – faktor yang diperlukan dalam mencapai suatu kekuatan untuk mengejar suatu hasil yang maksimum.
Mary Parker Follet mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu bentuk seni untuk melakukan suatu pekerjaan lewat orang lain. Definisi dari Mary Parker Follet ini mengandung perhatian pada sebuah kenyataan bahwa para manajer dapat mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain agar dapat melaksanakan apa saja yang diperlukan dalam suatu pekerjaan, tidak dengan cara melaksanakan pekerjaan tersebut seorang diri. Jadi estetika atau seni diterapkan dalam proses penerapan fungsi – fungsi manajemen dalam perusahaan (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling). Terutama di Bali sebagai daerah pariwisata yang terkenal, tentunya aspek estetika menjadi sangat penting. Contohnya pengerjaan sebuah proyek perusahaan.
Penerapan fungsi – fungsi manajemen tersebut antara lain:
a. Diawali dengan tahap Planning (perencanaan), ketika para arsitek merencanakan membuat bangunan perkantoran bertingkat pasti dikaitkan dengan aspek – aspek peruntukannya apa, bagaimana situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak lingkungan. Yang pasti estetika suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada strategi bisnis perusahaan dan pertimbangan lingkungan.
b. Tahap Organizing (mengorganisasi), pada tahap ini ada komunikasi antara pemimpin dan manajer dengan para sub-ordinasinya. Ketika terjadi interaksi maka selayaknya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya dengan cara –cara yang manusiawi. Misalnya pemimpin menyapa karyawan dengan akrab, sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis dan indah. Pemimpin juga mau mendengar dan merespon positif pendapat sub-ordinasinya.
c. Tahap Actuating (pelaksanaan), ketika perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetitif maka salah satu unsur yang ingin dicapai adalah pengembangan loyalitas konsumen. Untuk itu perusahaan harus bisa memberikan produk yang bermutu dan layanan yang terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan nilai lalu dibangun suatu jembatan emosional antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya adalah tanggung jawab mutu dengan dengan estetika tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu dan konsumen diperlakukan dengan cara aman dan nyaman secara berkelanjutan. Pada gilirannya konsumen akan loyal untuk kembali membeli produk perusahaan tersebut.
d. Tahap Controlling (pengawasan), dimana pengawasan merupakan tindakan seorang manajer untuk menilai dan mengendalikan jalannya suatu kegiatan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pengawasan adalah memperbaiki kesalahan, penyimpangan, penyelewengan dan kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan rencana. Misalnya apabila ada bawahan yang melakukan kesalahan, pimpinan menegur dengan cara yang baik, tidak emosional dan manusiawi. Sehingga bawahan tidak merasa ketakutan atau tertekan dan selanjutnya dapat memperbaiki kesalahannya.
E. AKSIOLOGI DALAM SOCIO POLITICAL LIFE
Sosial, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu ilmu yang berkenaan dengan masyarakat atau mengenai masyarakat. Sedangkan politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan. Dalam politik selalu menyangkut tujuan – tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan seorang pribadi. Karena itu aspek aksiologis dalam kehidupan sosial politik adalah kaidah – kaidah nilai yang harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu sosial dan politik ke dalam praktis. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi selangkah, pertukaran informasi antar manusia selalu merupakan permainan tentang toleransi (Susanto, 2016: 118). Ini berlaku dalam ilmu eksakta maupun bahasa, ilmu sosial, religi, ataupun politik, bahkan juga setiap bentuk pikiran yang akan menjadi dogma.
Jujun Suriasumantri dalam Syamsir Torang (2014) menyebutkan bahwa ilmu harus digunakan, dimanfaatkan dan diterapkan untuk kemaslahatan manusia. Ilmu juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan mempertimbangkan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun, diharapkan dapat digunakan atau diterapkan secara komunal dan universal. Komunal berarti milik bersama dan universal berarti tidak mempunyai konotasi panokial seperti ras, ideologi, atau agama.
Prinsip Politik sebagai Prinsip Penerapan Ilmu
Otoritas dan obyektifitas ilmiah tak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan asas, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti akan roboh, dan sesuatu yang tanpa penjaga pasti akan musnah. Dengan demikian, otoritas politik merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu. (Syamsir Torang, 2014: 109). Contoh aksiologis dalam Socio Political Life antara lain:
1. Sikap dan Tanggung Jawab Ilmuwan (Latiff Mukhtar, 2014)
Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang apabila memenuhi syarat – syarat keilmuan akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan hanya karena ia warga masyarakat, melainkan karena bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar disalahgunakan masyarakat.Selain itu pula masyarakat seringkali mendapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang dengan analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan atas permasalahan tesebut. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat, memberikan perspektif yang benar, untung – rugi, baik dan buruknya sehingga penyelesaian yang obyektif dapat dimungkinkan. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat menyebabkan mereka memiliki tanggung jawab sosial.
Tugas seorang ilmuwan harus dapat menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Mereka tidak akan membiarkan hasil penelitian maupun temuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun digunakan olah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan telah bangkit dan bersikap terhadap politik dan pemerintah yang berkuasa yang menurut mereka telah melanggar asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan yang dapat disalahgunakan sehingga ilmuwan berperan penting dalam menjaga kegunaannya dalam lingkungan sosial dan politik.Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, entah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi dan sebagainya mesti memperhatikan nilai – nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Peran akademisi dalam menanggapi isu lingkungan maupun sosial budaya di masyarakat
Senat Universitas Udayana memutuskan bahwa rencana Reklamasi Teluk Benoa tidak layak untuk diteruskan. Hal tersebut setelah dilakukan pengkajian kembali oleh tim review unud setelah melihat hasil kajian para peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM Unud). Menurut Prof. Suastika selaku Rektor Unud, proyek diputuskan tidak layak setelah dikaji dari aspek lingkungan, teknis, sosial budaya, dan ekonomi finansial. (www.antarabali.com). Begitu juga tindakan Institut Teknologi Sepuluh November yang menolak penawaran penyelenggara proyek untuk melakukan kajian atas proyek tersebut.
2. Seorang Teknokrat
Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang memiliki kemampuan teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus terlibatdalam kegiatan berkuasa dan memerintah. Beberapa tokoh yang dipandang sebagai teknokrat Indonesia antara lain: Boediono, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Anies Baswedan (www.jpnn.com).Terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat yakni:
i) Selaku teoritisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan adalah membentuk hukum umum dari peristiwa empiris atau objek yang mengembangkan pengetahuan dimana dapat menjelaskan apa hakikat peristiwa yang diamatinya dan membuat prediksi untuk masa depan.
ii) Selaku praktisi, teknokrat memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin kegiatan berpikir dan bertindak menganalisis fakta dengan tujuan menawarkan solusi sejauh yang diperlukan.
3. Pancasila sebagai dasar berpolitik
Terdapat berbagai macam pandangan politik dalam kehidupan bermasyarakat. Politik fiskal, politik internasional, politik nasional, politik lokal dan lain-lain. Seluruhnya merupakan pengetahuan tentang ketatanegaraan maupun urusan pemerintahan yang berkaitan dengan banyak orang pada tiap bidang tersebut. Karenanya penting untuk memahami nilai yang dijadikan pedoman dalam berperilaku politik.
Politik berperan strategis menghasilkan produk – produk hukum yang menyangkut masyarakat banyak. Erika dan Dewa (2014) menyatakan bahwa pembangunan karakter produk hukum yang sarat akan nilai – nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila merupakan salah satu karakteristik yang dapat ditonjolkan sebagai identitas pribadi yang mandiri, dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta, menghargai nilai – nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dengan asas musyawarah mufakat, serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi prosedur hukum harus mencakup pembangunan hukum dalam wujud pembaharuan peraturan perundang - undangan, pembinaan aparatur Negara, dan masyarakat serta hukum secara struktural, budaya, dan substansi maupun jaminan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM bagi setiap warga Negara yang dituangkan dalam bentuk konstitusi.
F. AKSIOLOGI MANAJEMEN TENTANG PERTIMBANGAN NILAI DAN MENJADI AKSI TERHADAP FUNGSI MANAJEMEN
Menurut Susanto (2011) dalam buku Filsafat Ilmu, Latif M (2014:231) mengatakan ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu di mana dalam proses penilaian terhadap unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai ilmiah, dan teori nilai emotif. Dimana teori nilai intuitif dan tori nilai rasional beraliran pendekatan objectivitas, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran pendekatan subjektivitas(Latif M, 2014: 231).
a. Teori Nilai Intuitif (The Intuitif Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai yang eksis sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi perilaku manusia. Setelah seseorang menemukan dan mengakui nilai intuitif melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
b. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia, dimana nilai ini ditemukan dari hasil penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai objektif absolut yang seharusnya mengarahkan perilaku.
c. Teori Nilai Alamiah (The Naturakistic Theory of Value)
Menurut teori ini, nilai diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya . Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji, oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental di mana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersidat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
d. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.
Dalam Encyclopediaof Phylosophy dijelaskan, aksiologi disamakan denganValue and Valuation. Ada tiga bentuk value and valuation (Amsal B, 2004:164).
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, mencakup seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan nilai sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, ataupun sebagai nilai contributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata nilai – nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai sebagai mana berlawanan dengan sesuatu yang tidak dianggap baik.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan hal tentang menilai, ia berarti menghargai dan mengevaluasi.
Menurut Budidarjo (2011) dalam Syamsir Torang (2014:112) nilai – nilai organisasi sebaiknya disosialisasikan dan dibudayakan agar mudah diterima oleh para anggotanya. Organisasi yang berkualitas, harus memiliki tujuh nilai yaitu integrity,professionalism,customer orientation, innovation, learning, team work, dan service excellent. Budidarjo dalam Syamsir Torang (2014:111-114) menyebutkan terdapat delapan fokus nilai budaya organisasi antara lain:
1. Pelanggan
Organisasi berorientasi pada nilai – nilai cutomer satisfaction, customer oriented, customer focus, cutomer value, dan empaty for clients.
2. Pelayanan dan Kualitas
Pelayanan yang diberikan organisasi berorientasi pada nilai – nilai: service orientedservice awareness, service excellent dan quality.
3. Orientasi Kelompok
Kelompok dalam organisasi tidak bisa diabaikan, oleh sebab itu organisasi harus berorientasi pada nilai – nilai kelompok: team work, people oriented, respect for other, cooperation dan collaboration.
4. Orientasi manusia
Organisasi juga harus memperhatikan sumber daya manusia yang dimiliki dengan berorientasi pada nilai – nilai: commitment for human development, caring, employee development, humanism, empowerment dan people development.
5. Inovatif
Nilai – nilai inovatif yang harus dimiliki oleh organisasi yaitu: continuous improvement, creativity, continuous pursuit of excellent, knowledge based, technobasic integrity, champion spirit dan competitive.
6. Strategik
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh strategi yang digunakan dalam mencapai tujuannya. Nilai – nilai strategic yang harus dimiliki organisasi yaitu: strategic alliance, good leadership, continuous learning, networking, professionalism,performance oriented, professional excellent, winning together, visionary dan world class.
7. Prestasi
Prestasi merupakan harapan organisasi, oleh sebab itu nilai prestasi yang harus dimiliki organisasi yaitu: achieving, adaptenes, agility, caring, competent people, confident, dedication, discipline, hardworking, reliable, initiative, openness, perseverance, responsible, strive for excellent dan synergy.
8. Moral atau Etika
Nilai – nilai moral atau etika merupakan nilai yang sangat signifikan yang harus dimiliki organisasi, antara lain: etical, good attitude, fairness, honesty, humanism, peace of main, social responsibility, trust dan equality.
Dalam fungsi – fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating dan controlling, seluruh bentuk nilai sangat bermanfaat untuk setiap keputusan yang akan dibuat dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu organisasi dalam pencapaian tujuannya. Dalam kaitannya dengan manajemen, bagamaimana seorang manajer merencanakan suatu kegiatan kemudian pengorganisasian rencana – rencana tersebut, mengimplementasikan rencana dan yang terakhir melakukan pengawasan sehingga serangkaian fungsi manajemen tersebut dapat memberi nilai pada perusahaan.
ASPEK AKSIOLOGI ILMU MANAJEMEN - Filsafat Ilmu Manajemen
Reviewed by Unknown
on
01.13
Rating:
Tidak ada komentar: